IAINSASBABEL.AC.ID - BANGKA. Salah seorang cendekiawan muslim yang sangat produktif menorehkan penanya dalam melahirkan berbagai karya cemerlang adalah Buya Syafii, panggilan akrab Ahmad Syafii Ma’arif. Secara personal, saya agak terlambat membaca karya-karya pemikiran Buya Syafii. Jika karya-karya cendekiawan muslim lainya, seperti Cak Nur (Nurcholish madjid), Gus Dur (Abdurrahman Wahid), Harun Nasution, Kang Jalal (Jalaluddin Rakhmat), Kuntowijoyo, bahkan Komaruddin Hidayat (untuk menyebut beberapa contoh) sudah mulai saya baca sejak sekitar tahun 1998, saya baru berkenalan dengan karya Buya Syafii pada tahun 2005. Karya beliau yang pertama kali bersentuhan dengan saya adalah Mencari Autentisitas dalam Kegalauan.
Setelah menyimak wacana-wacana bernas dalam Mencari Autentisitas dalam Kegagalan, saya mulai terpesona dengan Buya Syafii. Kemudian saya mendapatkan juga karya beliau yang sudah menjadi klasik: Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia. Dengan menikmati dua karya cemerlang tersebut, saya menemukan penguasaan Buya Syafii yang komprehensif terhadap khazanah tradisi keilmuan klasik sekaligus kekayaan intelektual era modern-kontemporer. Dalam kedua karya tersebut, baik khazanah tradisi keilmuan Islam klasik maupun kekayaan keilmuan era kontemporer disoroti oleh Buya Syafii secara apresiatif-objektif, sekaligus kritis-konstruktif.
Ide-ide besar para ulama klasik dan ilmuwan kontemporer yang masih relevan diapresiasi untuk menjawab berbagai problematika umat Islam Indonesia dengan melakukan kontekstualisasi dan aktualisasi. Sementara gagasan-gagasan mereka yang sudah usang dan tidak kompatibel dengan konteks situasi abad modern dan kontemporer, dikaji secara kritis-konstruktif. Semua kelemahan dan kekurangan sebagian ilmuwan klasik misalnya, ditempatkan oleh Buya Syafii secara proporsional sebagai jawaban kontekstual-temporal mereka dalam merespons berbagai problematika yang muncul ke permukaan kala itu.
Kemudian saya mulai memburu karya-karya beliau yang lain, seperti Membumikan Islam, Masa Depan Bangsa dalam Taruhan, Islam dan Politik Upaya Membingkai Peradaban, Menerobos Kemelut, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, Al-Qur’an dan Realitas Umat, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan Kemanusiaan, Gilad Atzmon serta autobiografi intelektualnya: Titik-Titik Kisar di Perjalananku, untuk menyebut beberapa karya populer beliau.
Kesan yang saya rasakan dari membaca karya-karya Buya Syafii, yakni gaya tulisan-tulisan beliau bersifat menohok dan menukik secara langsung ke jantung persoalan yang tengah dibahasnya. Bahasanya tidak basa-basi, tapi straight to the point.
Yang cukup menarik bagi saya, dalam pelbagai tulisannya, Buya Syafii seringkali memperkaya analisis-analisisnya dengan beragam konsep, teori, dan perspektif dari para ilmuwan yang relevan dengan tema-tema yang sedang dibahasnya, entah itu dari ilmuwan klasik, seperti Imam al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Taimiyah, dan Ibn Khaldun, maupun ilmuwan kontemporer seperti Muhammad Iqbal, Arnold Toynbee, Bertrand Russell, Benedetto Croce, dan Fazlur Rahman. Sehingga tulisan-tulisannya terasa begitu tajam dan memiliki bobot keilmuan yang tinggi. Di samping itu, wacana-wacana yang dikaji oleh Buya Syafii selalu berdasarkan data-data aktual terbaru dan pemikiran-pemikiran mutakhir dari sejumlah ulama atau ilmuwan kontemporer.
Terlihat sekali bagaimana beliau masih terus membaca, menyimak, dan mengkaji beragam bentuk perkembangan wacana pemikiran baik dalam tataran nasional-regional maupun global-internasional. Data dan wacana yang disuguhkan beliau senantiasa update secara ilmiah. Hal ini membuat kita yang memiliki tradisi akademik misalnya, merasakan sekali kenikmatan intelektual tatkala mengikuti analisis-analisis yang digulirkan oleh beliau. Kita bukan hanya mendapatkan pencerahan intelektual dengan analisisnya yang tajam dan menukik, tapi perspektif kita juga diperkaya dengan berbagai fakta aktual dunia global sekaligus dengan wacana-wacana pemikiran mutakhir.
Gairah dan spirit intelektualisme keilmuan seorang Buya Syafii, saya pikir sulit dicari tandingannya. Bayangkan saja, di usia yang sudah sangat renta, memasuki umur 83 tahun, beliau masih begitu semangat membaca, menyimak, mengakses, mengikuti, dan mengkaji puspa ragam perkembangan wacana keilmuan yang masih terus bergerak sampai hari ini. Sungguh, semangat belajar dan gairah intelektual seorang Buya Syafii yang sudah renta tidak terkejar oleh saya yang masih muda. Saya begitu tertatih-tatih tatkala melihat referensi data-data aktual dan wacana-wacana pemikiran yang disuguhkan oleh beliau dalam tulisan-tulisan terbarunya, seperti yang bisa kita simak dalam berbagai karya mutakhirnya: Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Gilad Atmon serta artikel-artikel briliannya dalam kolom Resonansi di Harian Republika. Sebuah teladan ideal intelektualisme yang harus kita warisi.
Makanya tidak mengherankan jika dalam masa kepemimpinannya sebagai nakhoda Muhammadiyah periode tahun 2000-2005, salah satu terobosan yang dilakukan Buya Syafii adalah pengembangan pemikiran Islam dalam kalangan internal tubuh ormas Muhammadiyah. Muhammadiyah yang sebelumnya lebih banyak berorientasi pada tradisi beramal, kini harus diimbangi dengan pengembangan tradisi intelektual. Bagi Buya Syafii, harus ada keseimbangan antara aktivisme dengan intelektualisme.
“Aktivisme tanpa kontemplasi yang mendalam” tulis Buya Syafii, “akan bermuara dengan kesia-siaan; ibarat sumur tanpa dasar”.Buya Syafii membuka ruang kebebasan berpikir yang seluas-luasnya kepada generasi muda Muhammadiyah untuk mengembangkan tradisi pemikiran yang kritis, reflektif, konstruktif, dan progresif-transformatif. Sebab kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan pemikiran meniscayakan sebuah syarat mutlak: kebebasan berpikir. Ketika kebebasan berpikir dipasung dan tidak diberi ruang untuk mengekspresikan ide-idenya, maka otak-otak cerdas, kreatif, dan inovatif anak-anak muda Muhammadiyah yang tetap memiliki iman yang mendalam, justru akan merasakan sesak nafas dalam lingkungan Muhammadiyah sendiri. Bagi Buya Syafii, semua pemikiran baru, segar, kritis, inovatif, progresif, dan evaluatif yang disuarakan oleh generasi muda Muhammadiyah tidak perlu dicemaskan selama semua itu masih berada dalam terang perspektif Kitab Suci.
Di atas semuanya, sebagian tulisan-tulisan karya-karya Buya Syafii memiliki keunikan bobot analisis tersendiri yang tidak saya temukan dalam karya-karya cendekiawan muslim kita lainnya. Ini bisa kita temukan secara khusus misalnya pada buku Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan. Dalam karya tersebut, Buya Syafii mendiagnosa berbagai problematika yang tengah menggelayuti bangsa Indonesia dalam aspek budaya, sosial, politik, pendidikan, perkembangan pemikiran keislaman nusantara, dan politik kebangsaaan. Dengan menelusuri akar historis pembentukan negara-bangsa Indonesia, yang kemudian menjadikan UUD 1945 sebagai konstitusi dan Pancasila sebagai falsafah negara, Buya Syafii menunjukkan partisipasi aktif seluruh komponen bangsa, baik sebagai umat Islam maupun non-muslim sebagai warga negara Indonesia.
Dengan begitu sabar dan tekun, Buya Syafii menganalisis hubungan Islam dan demokrasi, wajah Islam Indonesia, beragam persoalan kualitas mayoritas umat Islam Indonesia, masa depan Islam dan bangsa Indonesia dalam konteks global untuk kemudian dicarikan berbagai solusinya secara jernih, berbobot, aktual, dan relevan dengan pelbagai problematika tersebut. Solusi-solusi yang ditawarkan beliau, katakanlah nyaris holistik. Ada begitu banyak ide-ide besar yang fresh, bernas dan konstruktif yang beliau tawarkan untuk mengatasi pelbagai problematika yang sedang menggerogoti bangsa kita.
Sebagaimana judulnya: Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, akhirnya Buya Syafii menggarisbawahi bahwa Islam melalui umat Islam Indonesia harus benar-benar mampu mengejawantahkan misi sakralnya sebagai rahmatan lil ‘alamin: bukan hanya membawa manfaat kebajikan bagi seluruh warga negara Indonesia, tapi juga bagi warga dunia, bagi umat manusia secara universal. Sebuah karya yang wajib untuk dibaca oleh generasi zaman now!
* * *Berikut ini, izinkan saya menayangkan sekilas beberapa gagasan cemerlang Buya Syafii secara fragmentaris, hanya serpihan-serpihan wacana secara acak.
Pertama, ide kemajuan umat Islam melalui harmonisasi antara iman dan ilmu, antara zikir dan fikir. Sebuah ayat yang sangat populer dalam Surat Al-Mujadalah ayat ke-11 dijadikan pijakan argumentasi oleh Buya Syafii: “Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan mereka yang diberi ilmu beberapa derajat”.
Menurut Buya Syafii, dalam ayat di atas hubungan antara iman dan ilmu demikian eratnya, ibarat saudara kembar, yang satu menopang dan merindukan yang lain. Umat Islam selama enam abad pertama (abad ke-7 sampai abad ke-12) sampai batas-batas yang jauh telah menerjemahkan spirit ayat itu disamping banyak ayat lain dengan substansi yang tidak berbeda ke dalam kekuatan-kekuatan sejarah.
Sehingga terciptalah sebuah tatanan kehidupan umat yang paling beradab, kreatif, dan maju di muka bumi. Iman merupakan fondasi ruhani sedangkan ilmulah yang membawa iman itu bergumul dengan realitas kongkret; bergumul dengan darah dan daging sejarah.
Iman tanpa ilmu dan aplikasinya berupa teknologi tidak akan mengubah wajah kenyataan. Sebaliknya ilmu tanpa iman dapat membawa peradaban menjadi kebiadaban, karena kerapuhan fondasi spiritual yang menopangnya, seperti yang diderita peradaban modern sekarang ini. Maka untuk menjaga sebuah ekuilibrium peradaban, ilmu jangan dipisahkan dengan iman dan iman jangan diceraikan dengan ilmu.
Analog dengan hal ini, untuk menciptakan pilar-pilar peradaban yang telah stabil, Al-Qur’an menawarkan kekuatan fikr dan zikr diintegrasikan secara mantap. Dalam perjalanan sejarah, dominasi zikr (kesadaran yang mendalam tentang kehadiran Tuhan) semata dengan mengeyampingkan fikr (penalaran) tidak banyak membawa kemajuan dalam peradaban manusia. Sebaliknya, pendewaan terhadap penalaran telah membawa sejarah manusia kepada satu situasi yang serba membosankan, ganas, dan kehilangan visi terhadap yang ultimate. Konsep Al-Qur’an tentang umatan wasathan (umat penengah) adalah wujud konkret dari masyarakat yang diidamkan.
Tetapi untuk bergerak secara strategis menuju tujuan di atas, penyakit kurang atau tidak percaya diri yang menghinggapi umat Islam selama kurun yang panjang perlu secepatnya diatasi dengan merealisasikan diktum Al-Qur’an tentang perlunya pemantapan iman yang diiringi oleh pembentukan umat yang berilmu secara maksimal. Ilmu sudah pasti akan membuahkan teknologi sebagai kebutuhan yang tak terelakkan bagi kelangsungan hidup manusia. Namun sayangnya, sampai sebegitu jauh, kesadaran yang mendalam tentang masalah ini belum lagi merata di kalangan umat Islam. Oleh sebab itu, wawasan ilmu dan kemanusiaan yang serba terbatas perlu secepatnya diganti dengan wawasan mondial yang kreatif.
“Seorang muslim,” tulis Buya Syafii, “disamping menjadi warga negara secara sadar, ia pada waktu yang sama harus tampil sebagai warga dunia secara sadar pula. Bukankah umat Islam mengklaim, bahwa risalah Muhammad itu adalah sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi alam semesta). Maka adalah sebuah kebodohan sejarah yang tidak dapat dimaafkan bila umat ini masih melanggengkan wawasan picik dan sempit sebagai manifestasi dari ketidaktahuannya tentang makna Al-Qur’an bagi peradaban manusia yang bermoral”.
Bagi Buya Syafii, Islam punya peluang sejarah yang sangat besar untuk menggerakkan kekuatan-kekuatan sejarah sambil mengarahkannya kepada tujuan yang jauh yang tidak terikat oleh kebisingan ruang dan waktu. Dengan syarat bila umatnya mampu membuka mata dan hatinya secara tajam dan menukik dalam mengamati dan membaca peta Tuhan dan peta manusia di awal millenium ketiga ini.
Kedua, umat Islam harus menciptakan fundamen ekonomi yang kuat dan established. Segala usaha kita dalam berbagai bidang kehidupan akan macet bila dasar ekonomi umat Islam lemah. Dalam hal ini, ada analisis menarik dari beliau. Menurut Buya Syafii, stressing point dalam Al-Qur’an tidak ada satu perintah pun agar umat Islam menerima zakat. Tapi banyak sekali perintah agar umat Islam memberikan atau mengeluarkan zakat. Apa arti perintah semacam ini? Artinya adalah agar umat Islam menjadi umat yang suka dan mampu memberi, bukan umat yang suka menerima. Kalaupun terpaksa menerima, hal itu haruslah bersifat sementara.
“Islam memang agama yang pro-orang miskin,” tulis Buya Syafii, “tapi sebenarnya benci kepada kemiskinan. Kemiskinan adalah di antara penyakit sosial yang perlu dibasmi”.
Jadi, Al-Qur’an bila berada di tangan umat yang cerdas akan memberikan konsep-konsep kunci yang sangat mendasar untuk memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan sepanjang zaman. Sebaliknya bila Al-Qur’an dipegang di tangan umat yang bodoh dan buta huruf, ia dapat menjadi beban bila bukan malapetaka sejarah. Al-Qur’an hanya mau berunding dengan manusia yang cerdas, jujur, dan berwawasan luas.
Lalu bagaimana jika Al-Qur’an tidak lagi dapat menyelesaikan pelbagai masalah umat Islam dan manusia pada umumnya? Dalam tilikan Buya Syafii, setidaknya ada dua kemungkinan penyebabnya:
(1) Kita tidak jujur terhadap Kitab Suci ini, akibatnya solusi fundamental tentang masalah-masalah umat dan kemanusiaan sulit sekali ditemukan. Latar belakang sosio-politik dan kultural sering menjadi kendala untuk membiarkan Al-Qur’an berbicara tentang dirinya. Dengan kata lain, egoisme kultural dan subjektivisme sejarah sering ditempatkan lebih tinggi dari Al-Qur’an, disadari atau tidak disadari. Ini merupakan salah satu pangkal benang kusut itu.
(2) Pendekatan yang serba parsial dan ad hoc terhadap Kitab Suci ini telah melahirkan pandangan dunia yang sempit, jauh dari filosofi rahmatan lil ‘alamin. Padahal problem-problem umat Islam dan kemanusiaan dewasa ini tidak bisa lagi diselesaikan dengan pendekatan-pendekatan quranik-parsialistik, melainkan harus melalui pendekatan quranik-holistik. Problem-problem aktual yang sedang muncul kepermukaan, jangan hanya disoroti dengan satu dua ayat secara parsial, tapi harus diteropong melalui keseluruhan spirit nilai-nilai universal Al-Qur’an di bawa misi besarnya sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Berhubungan dengan konsep kemajuan umat Islam ini, Buya Syafii juga mengingatkan kita semua agar dapat melakukan introspeksi diri secara internal atas segala kelemahan kita, jangan selalu disibukkan dengan menyalahkan pihak lain, siapa pun mereka. Siapapun di antara kita yang selalu sibuk menyalahkan pihak lain manakala kalah dalam perlombaan secara global, maka mereka itulah orang-orang yang tidak mau belajar dengan sungguh-sungguh untuk menang.
“Sudah berulang kali kusampaikan agar umat Islam tidak hanya pandai mengarahkan telunjuknya kepada pihak lain, tetapi harus lebih sering telunjuk itu di hadapkan kepada diri sendiri. Tengok diri secara berani pada kaca kehidupan dan kemudian simpulkan apa yang salah pada diri kita: kalah berkepanjangan selama berabad-abad!. Tanpa perubahan sikap yang mendasar dalam masalah ini, masih akan panjang waktu yang diperlukan sampai umat Islam mau berkaca diri secara jujur, sungguh-sungguh, dan cerdas”, demikian peringatan Buya Syafii kepada kita semua.
Pada titik ini, saya merasakan sekali bagaimana pembacaan Buya Syafii terhadap Al-Qur’an bersifat substantif-idealistik, bukan lagi bersifat normatif-formalistik. Sebagai sebuah contoh lagi misalnya. Ketika berbicara tentang Al-Qur’an yang selalu dipelihara oleh Allah (QS. Al-Hijr: 9), Buya Syafii mengakui bahwa pemeliharaan itu salah satunya telah dilakukan dengan tradisi hafalan Kitab Suci Al-Qur’an oleh para penghafalnya (huffazh). Sehingga selama lebih dari 14 abad berlalu, teks Al-Qur’an masih tetap terjaga seperti sedia kala.
Tapi pemaknaan kita tidak boleh hanya berhenti di situ. Pemaknaan kita harus melangkah lebih jauh. Ungkapan memelihara Al-Qur’an tidak boleh hanya berhenti sebatas pada kemurnian teks, tapi juga pada kemampuan kita umat Islam untuk membawa pesan-pesannya turun ke bumi secara konkret. Apalah artinya kita mampu menghafal ayat-ayat Al-Qur’an, tapi tidak memahami dan menghayati pesan-pesan luhurnya? Apalah artinya kita menghafal Kitab Suci yang agung ini, tapi kita tidak mampu mengamalkannya demi kemajuan dan kejayaan umat Islam? Demi kesejahteraan dan kebahagiaan umat Islam? Sebab kalau umat Islam hanya berhenti pada level hafalan, maka kita hanya memelihara Al-Qur’an secara normatif-tekstual, tanpa memberikan kontribusi secara objektif-faktual bagi umat Islam secara internal maupun umat manusia secara eksternal. Kalau inilah realitas umat Islam, sejatinya kita belum berperan secara maksimal dalam rangka turut berpartisipasi memelihara kitab suci Al-Qur’an.
Ketiga, mempromosikan wajah Islam Indonesia yang moderat, toleran, terbuka, inklusif dan humanis. Sehingga Islam yang yang mau dikembangkan di Indonesia adalah sebuah Islam yang ramah, terbuka, inklusif, santun, dan mampu menawarkan solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa dan negara. Sebuah Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, sub-kultur, kearifan lokal, dan fakta agama yang beragam; Sebuah Islam yang memberikan keadilan, kenyamanan, keamanan, keteduhan, dan perlindungan kepada semua orang yang berdiam di ranah Nusantara tanpa diskriminasi, apapun agama yang dianutnya.
Sebuah Islam yang toleran dan ramah terhadap siapa saja yang mempunyai kemauan baik untuk membangun Indonesia sebagai perumahan asri bagi seluruh penghuni, warga negara, atau pun warga asing. Dan sebuah Islam yang sepenuhnya berpihak kepada rakyat miskin, sekalipun ajarannya sangat anti kemiskinan, sampai kemiskinan berhasil dihalau sampai ke batas-batas yang jauh di negeri kepulauan tercinta ini.
Menurut Syafii Maarif, semua pihak sebagai putra putri bangsa Indonesia yang berwajah pluralistik harus lapang dada hidup bersama di atas sebuah prinsip untuk tidak saling meniadakan. Dalam konteks ini, wacana keislaman dalam ruang publik, keindonesiaan, dan kemanusiaan haruslah dibingkai dalam satu tarikan nafas yang harmonis. Keislaman dan puspa ragam karakter bangsa Indonesia yang positif harus dianyam dalam sebuah hamparan luas kanvas sosiologis yang humanis yang menyediakan ruang gerak bagi semua warga negara secara adil.
Demikian juga, dalam konteks global, Islam harus tampil sebagai agama yang toleran, moderat, dan humanis. “Bagiku planet bumi ini,” tulis Buya Syafii “bukan hanya untuk pemeluk Islam, tetapi untuk semua, apakah mereka beriman ataupun tidak. Semuanya punya hak yang sama untuk hidup dan memanfaatkan kekayaan ini di atas dasar keadilan dan toleransi. Tak seorang pun punya hak monopoli atas bumi ini. Oleh sebab itu, umat Islam semestinya secara aktif mengembangkan budaya toleransi ini, dengan syarat pihak lain pun harus berbuat serupa. Jika ada gerakan agama atau politik yang ingin mengusir pihak lain di muka bumi, maka mereka adalah musuh peradaban dan kemanusiaan yang harus dilawan, apapun agama dan kepercayaannya”.
Terakhir, Buya Syafii menghendaki berbagai ormas Islam di Indonesia harus memiliki global mindset yang bermuara pada nilai kemanusiaan universal dengan tetap mempunyai local mindset yang berpijak pada ranah keumatan dan kebangsaan. Dalam perspektif Buya Syafii, untuk melakukan perbaikan yang cukup signifikan bagi masyarakat Indonesia, baik NU maupun Muhammadiyah misalnya, perlu mempertajam visi kader mereka.
Dalam konteks Muhammadiyah, lazimnya kader yang hendak dibangun tersusun dalam urutan seperti ini: kader persyarikatan, kader umat, dan kader bangsa. Buya Syafii justru mengusulkan agar urutan ini dibalik dan ditambah menjadi: kader kemanusiaan, kader bangsa, kader umat, dan kader persyarikatan. Mengapa demikian? Agar dapat memberikan kontribusi secara maksimal, baik pada level lokal-nasional kebangsaan, maupun pada level global-internasional.
Mari kita simak beberapa argumentasi Buya Syafii. Pertama, misi Islam adalah sebagai "rahmat bagi alam semesta". Dengan menjadikan kemanusiaan sebagai pintu masuk pertama, pasukan intelektual Muslim ini akan didorong untuk berpikir mondial: seluruh umat manusia, siapa pun mereka, pada hakikatnya adalah sahabat. Jika berlaku permusuhan, harus diselesaikan dalam bingkai kemanusiaan secara adil dan beradab. Di sebuah dunia yang sarat dengan pertentangan dan permusuhan, diktum "rahmat bagi alam semesta" memang terdengar terlalu jauh di sana dan idealistik. Tetapi umat Islam tidak boleh melepaskan diktum ini, karena itu berasal dari suara Langit, betapa pun suasana bumi selama ribuan tahun penuh dengan sengketa dan bahkan pertumpahan darah.
Dengan kata lain, dipelopori oleh intelektual Muslim yang berwawasan mondial itu, gerak roda peradaban harus mengarah kepada terciptanya sebuah persaudaraan universal umat manusia. Dunia Islam yang terbentang dari Maroko sampai ke Merauke adalah sebuah dunia yang masih tercabik-cabik, baik karena didera kemiskinan, maupun oleh perbedaan paham keagamaan. Buya Syafii optimis bahwa suara Langit itu dapat dan harus dibawa turun ke bumi, karena memang diperuntukkan untuk kepentingan bumi. Umat Islam tidak boleh hanya sambil lalu saja menyebut dan membaca pesan Langit ini. Seluruh peradaban yang hendak dibangun harus mengacu kepada doktrin Langit ini. Jika tidak demikian, maka akan sia-sialah kita berbicara tentang derajat ketinggian dan keunggulan Islam. Pesan keunggulan Islam ini wajib dibawa ke bumi kenyataan, tidak hanya dikhutbahkan di mimbar-mimbar masjid dan di pengajian-pengajian.
Kedua, dari posisi kader kemanusiaan, kita turun setapak menjadi kader bangsa, karena kita hidup dan bernafas dalam teritori negara-bangsa Indonesia. Intelektual Muslim dan umat secara keseluruhan tidak boleh mengurung dirinya dalam lorong sempit hanya dalam lingkungan keumatan dalam makna yang terbatas. Dalam sebuah masyarakat yang pluralistik, konsep keumatan disamping ditempatkan dalam bingkai kemanusiaan universal, perumahan kebangsaan adalah pelabuhan awal untuk dijadikan pangkal tolak untuk bergerak lebih jauh. Dengan filosofi ini, umat Islam akan tampil sebagai garda terdepan dalam membela dan merawat kepentingan bangsa ini bersama-sama dengan umat-umat lain dalam suasana persaudaraan yang dalam dan jujur.
Ketiga, manusia memang diciptakan tidak dalam satu format sosio-kultural, tetapi dalam lingkungan beragam umat dengan ciri khasnya masing-masing. Ciri khas ini adalah pertanda bahwa Allah, Maha Pencipta, ‘anti-keseragaman’, sebab serba-seragam dapat membuat manusia menjadi miskin wawasan dan kaku dalam pergaulan. Ini adalah sebuah fakta sejarah yang tidak dapat dibantah. Oleh sebab itu, biarkanlah masing-masing umat yang beragam itu mencetak kadernya sendiri untuk kepentingan lingkungannya yang berbeda, tetapi dalam wawasan tetap berada di bawah tenda kebangsaan dan di atasnya terbentang tenda kemanusiaan yang luas tak bertepi. Bagi Buya Syafii, imannya tidak menemui kesulitan apa-apa untuk meluaskan radius pergaulan dengan segala macam manusia dengan syarat berpegang kepada konsep lita'arafu, yakni untuk saling menyapa dan bertukar unsur-unsur pengalaman dan peradaban yang positif.
Keempat, karena uraian kita berkaitan dengan kondisi Indonesia yang masih sedang merumuskan kepribadiannya, di mana NU dan Muhammadiyah masih sebagai dua sayap utama, maka masing-masing sayap ini tentu memerlukan kadernya tersendiri untuk kelangsungan gerakan dan misinya secara kreatif. Di lingkungan Muhammadiyah misalnya, dikenal dengan nama kader persyarikatan, di lingkungan NU tentu punya nama khas tersendiri sesuai dengan cirinya. Baik kader persyarikatan maupun kader NU mesti mempunyai wawasan dan jangkauan pemikiran yang malampaui radius kemuhammadiyahan dan ke-NU-annya. Mereka semua adalah bagian yang menyatu dengan tiga ranah pergaulan di atas: kemanusiaan, kebangsaan, dan keumatan. Semua ini memerlukan perubahan mindset dan sikap mental secara berani dan radikal.
Dari berbagai argumentasi Buya Syafii di atas, gagasan tersebut memang sangat layak dipertimbangkan bagi NU dan Muhammadiyah maupun organisasi lainnya.Sebab gagasan yang ditawarkan Buya Syafii tersebut, berupaya merajut antara dimensi keislaman, kemanusiaan, dan keindonesiaan dalam satu tarikan napas kemanusiaan universal yang menjadi misi agama Islam. Dengan sentuhan kearifan Buya Syafii tersebut, gagasan kemanusiaan universal itu harus menjelma nilai-nilai keindonesiaan masyarakat Indonesia yang tetap memiliki orientasi global.
Tidak bisa dipungkiri, kini kita bukan hanya menjadi warga bangsa Indonesia, tapi juga telah menjadi warga negara global. Kita hidup dalam suatu sistem yang saling bergantung, yang setiap saat bisa menimbulkan katastrofi eko-politik. Interkoneksitas ini bekerja seperti butterfly effect: kepak sayap kupu-kupu di hutan Amazon dapat menghasilkan badai di California. Asap metromini di Jakarta, bisa menggagalkan panen mentimun di Cipanas. Pelecehan agama Islam di Amerika dan Jerman misalnya, bisa menyulut kemarahan umat Islam di berbagai belahan dunia.
Sampai disini, kalau kita tarik benang merah yang menjadi simpul besar pemikiran Buya Syafii, maka dengan agak sedikit simplifikasi, beliau hendak berusaha mengejawantahkan misi sakral agama Islam yakni rahmatan lil ‘alamin, membawa rahmat kasih sayang untuk semensta alam. Misi universal rahmatan lil ‘alamin inilah yang seringkali diulang dalam karya-karya beliau. Wacana-wacana pemikiran cemerlangnya tidak lagi terkotak-kotak dalam sekat-sekat afiliasi formal yang terbatas. Meskipun secara kultural berasal dari Muhammadiyah, tapi Muhammadiyah menjadi rumah yang terlalu kecil bagi komintem kemanusiaan universal yang selalu disuarakan dan diperjuangkan oleh Buya Syafii. Misinya bersifat universal atas nama kemanusiaan.
Oleh sebab itu, Buya Syafii bukan lagi hanya menjadi milik ormas Muhammadiyah semata. Beliau juga menjadi milik ormas Nu atau ormas-ormas Islam lainnya. Beliau menjadi milik semua golongan, kelompok, suku dan seluruh etnis orang-orang Indonesia. Bahkan beliau bukan lagi hanya menjadi milik umat Islam Indonesia, tapi juga milik semua umat non-muslim yang berada di bawah tenda besar Indonesia.
Karena suara Buya Syafii bersifat universal yang melampaui sekat-sekat primordialistik budaya, ras, suku, warna kulit, bahasa, keyakinan dan agama masyarakat Indonesia, akhirnya sangat pantas bila beliau menjadi seorang Guru Bangsa. Seorang Guru yang kearifan dan keperpihakannya tidak pernah pilih kasih, melainkan mampu memayungi seluruh perbedaan dan keragaman anak-anak bangsa dengan sikap yang adil dan simpatik, humanis dan penuh kasih sayang, serta penuh perhatian dan tanggung jawab.
Selamat jalan Buya, hari kepulangan-mu hari yang paling indah yang didambakan seluruh umat Islam. Semoga husnul khotimah...Semoga kami bisa meneladani secercah kearifan hidupmu...
(Zaprulkhan, Dosen IAIN SAS BABEL)