Pengetahuan Agama Generasi Muda Islam (Kini)

avatar Tong Hari
Tong Hari

1191 x dilihat
Pengetahuan Agama Generasi Muda Islam (Kini)
Muhamad Nurdin, M.S.I

IAINSASBABEL.AC.ID BANGKA.  Duk..duk..duk bunyi sepatu seorang mahasiswa yang telihat tergesa-gesa memasuki ruang dosen. Dosenpun telah duduk dikursinya menunggu mahasiswa tersebut karena sudah dijadwalkan akan melaksanakan ujian dengan materi ibadah kemasyarakatan.

Ibadah kemasyarakatan ini berkaitan dengan kegiatan sehari-hari yang dilakukan umat muslim, seperti bersuci, solat, membaca ayat suci al Quran, tajwid, dan sebagainya.

Mahasiswa tersebut berdiri tepat dihadapan dosen penguji dan meminta maaf karena terlambat dari jadwal yang telah ditentukan.

“Maaf pak saya terlambat, tadi saya ujian di penguji satu dan dua,” ungkap mahasiswa tersebut

“Silahkan duduk, tidak apa-apa,” kata dosen pengujinya

“Apakah kamu sudah siap ujian hari ini,” tanya pengujinya

“Insyaallah siap pak,” jawab mahasiswa

Ujianpun dimulai, dosen meminta mahasiswa untuk menjelaskan tentang fikih, tepatnya bab air yang sah untuk berwudu dan mempraktekan tayamum.

Hasilnya, mahasiswa beberapa kali mengulang jawabannya lalu menggaruk kepala karena tidak bisa memberikan jawaban, dan alasannya karena gugup.

Kemudian beralih kepertanyaan berikutnya tentang salat. Dosen meminta untuk mempraktekkan dan membacakan bacaan setiap gerakan dalam solat.

Jawabannya tidak jauh berbeda, mahasiswa hanya mampu dibeberapa bagian saja. Sebagian keliru bahkan ada yang lupa. Seperti tasyahut akhir dan bacaan ruku sampai sujud dibaca keliru.

Pertanyaan berikutnya mahasiswa disuruh memilih ayat-ayat pendek yang dihapalnya lalu menunjukan beberapa hukum bacaan atau tajwid yang diketahuinya.

Hasilnyapun tidak jauh berbeda, mahasiswa tidak bisa menjawab dari soal yang diberikan. Ia beberapa kali mencoba menjawab tetapi jawabannya tidak sesuai dengan pertanyaan yang diberikan.

“Ujian dah selesai dilaksanakan, sepertinya harus belajar giat lagi, karena jawaban yang disampaikan banyak yang keliru bahkan salah, padahal inikan ibadah sehari-hari bagi kita umat muslim, silahkan tunggu hasilnya diluar,” kata dosen penguji

Datang lagi mahasiswa berikutnya yang akan melaksanakan ujian dengan dosen penguji sama.

“Coba kamu sebutkan ada beberapa najis dan bagaimana cara mensucikannya,” tanya dosen memberi pertanyaan

“Coba sekarang solat zuhur, dimulai dengan niat hingga prakteknya sampai selesai,” pertanyaan berikutnya disampaikan dosen

Sambal menggaruk kepala, sesekali memejamkan mata kemudian membukanya lagi dan mengulang-ngulang jawaban dari pertanyaan, ia kemudian menyerah dan berusaha meyakinkan pengujinya.

” Ngak tau pak, lupa, semalam saya dah belajar padahal,” kata mahasiswa

Hasilnya, jawaban mahasiswa keduapun tidak jauh berbeda dengan mahasiswa pertama. Mereka menyebutkan karena gugup itulah hasil ujian tidak maksimal, padahal sebelumnya telah belajar.

“Maaf sebelumnya, adik pernah belajar tentang agama,” tanya dosen penguji

“Pernah pak, di Taman pendidikan al Quran sampai SMA,” jawab mahasiswa

“Belajar tentang bacaan solat hingga praktiknya, mengenal huruf hijaiyah dan tajwid juga,” lanjutnya

“Saya benar-benar lupa pak, ngak tau kenapa, tiba-tiba ngeblenk (hilang) pelajaran yang telah dipelajari,” katanya menerangkan

Ternyata hal ini bukan rahasia lagi, beberapa dosen mengeluh dengan pengetahuan agama mahasiswa kini, terlebih dosen-dosen yang menjadi penguji bagian ibadah kemasyarakatan. Mereka menceritakan pengalamannya ketika menguji mahasiswa tentang pengetahuan dasar agama.

Tak sampai disitu, ada juga yang menceritakan pengalamannya saat mengajar matakuliah keagamaan, misalnya saat disuruh membaca ayat al Quran masih terbata-bata.

”Saya pernah ditanya seorang guru, kok bisa ada seorang anak lulusan kampus yang notabennya agama Islam tetapi tidak bisa ngaji, maksudnya bacaannya, mahkrijul huruf hingga tajwid bacaan Qurannya kacau,” sambung dosen lainnya.

Generasi Masa Kini

Berbicara tentang generasi muda, para ahli membaginya dalam beberapa bagian. Seperti dikemukakan Bencsik, Csikos, dan Juhez, dikutip oleh Yanuar Surya Putra, bahwa mereka yang lahir rentang tahun 1925 - 1946 dinamai generasi veteran. Kelahiran tahun 1946-1960 disebut generasi baby boom, kelahiran tahun 1960 – 1980 disebut generasi X, mereka yang lahir 1980 – 1995 dinamakan generasi Y. selanjutnya kelahiran 1995 – 2010 disebut generasi Z, lalu yang lahir di tahun 2010+ dinamai generasi Alfa.

Tentunya penamai ini tidak datang begitu saja, pemahaman dasar mengenai pengelompokan generasi adalah adanya premis bahwa generasi adalah sekelompok individu yang dipengaruhi oleh kejadian – kejadian bersejarah dan fenomena budaya yang terjadi dan dialami pada fase kehidupan mereka.  

Kejadian serta fenomena tersebut menyebabkan terbentuknya ingatan secara kolektif yang berdampak dalam kehidupan mereka. Jadi kejadian historis, sosial, dan efek budaya bersama dengan faktor-faktor lain ini akan berpengaruh terhadap terbentuknya perilaku individu, nilai, dan kepribadian.

Enam kelompok generasi ini memiliki karakteristik yang berbeda – beda. Generasi Z disebut juga i-Generation atau generasi internet. Generasi Z memiliki kesamaan dengan generasi Y, tapi generasi Z mampu mengaplikasikan semua kegiatan dalam satu waktu (multi tasking) seperti, menjalankan sosial media menggunakan ponsel, browsing menggunakan PC, dan mendengarkan musik menggunakan headset. Apapun yang dilakukan kebanyakan berhubungan dengan dunia maya. Sejak kecil generasi ini sudah mengenal teknologi dan akrab dengan gadget canggih yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap kepribadian.

Generasai Alfa kemungkinan kini masih menempuh Pendidikan. Mereka terlahir dari orang tua yang jauh lebih modern dan cukup stabil perekonomiannya. Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi pemikirannya.

Apakah kemudian generasi kini cukup sulit fokus dan konsentrasi dalam memahami sesuatu, karena beragam kemudahan yang diterima?

Dalam permasalahan ini memang tidak semua generasi muda (mahasiswa) kurang dalam pengetahuannya, termasuk bidang agama. Buktinya cukup banyak diluar sana mereka yang berkontribusi bahkan berprestasi dalam bidang tersebut. Bahkan ada sebagian berasal dari keluarga dan ekonomi pas-pasan, terbatas akses pendidikan dan masih banyak lagi.

Lalu dimana letak permasalahannya? dalam hal ini, kecil kemungkinan mahasiswa tidak belajar atau tak memahami apa yang disampaikan penguji, karena pelaksanaan ujian telah terjadwal, materi-materi yang diujikan merupakan praktik ibadah dalam kehidupan sehari-hari yang telah dipelajari. Baik itu di sekolah bahkan pendidikan non formal.

Pertanyaannya kemudian, kenapa hal ini dapat terjadi atau apa penyebabnya sehingga mahasiswa sulit menjawab soal-soal yang diberikan pengujinya?

Tak Hanya Agama

Seorang dosen mengeluh karena mahasiswa kini berbeda dengan zamannya kuliah dulu. Dalam hal belajar mereka cendrung tidak serius, mudah menyerah dengan keadaan, tidak ada inisiatif, selain itu tak senang dengan hal yang membuatnya berpikir terlalu keras.

Menurutnya hal ini berbeda jauh ketika zamannya, notabenya selalu patuh terhadap apa yang disampaikan dosen dan selalu mendengar informasi didapatkan, cendrung tertutup terhadap pemikiran juga menjunjung tinggi harkat dan martabat.

Keluhan ini disampaikannya ke rekan-rekannya sesama dosen dan pendidik, ternyata hal ini dirasakan juga oleh mereka. Bahkan dalam kasus berbeda mahasiswa dengan mudah menyampaikan pemikirannya tentang hal yang mengganggu pikirannya.

Misalnya soal nilai yang diperolehnya, dosen merasa heran mendapat pesan dari mahasiswa ke nomor Whatssap-nya agar merubah nilai yang telah ditulis. Isi pesan tersebut kurang lebih seperti ini “salam, mohon maaf bapak mengganggu waktunya, saya pulan dengan NIM …. Saya ingin menanyakan nilai di mata kuliah yang bapak ampu, nilainya kok dapat C, saya jadi tidak bisa mengambil mata kuliah seperti teman saya, apakah nilainya bisa diperbaiki pak, terimakasih.”    

Pesan seperti di atas cukup mudah ditemui dosen sekarang. Merekapun menanggapinya dengan cara berbeda-beda, ada yang dengan senang hati merubahnya, ada juga sebaliknya tetap dengan nilai semula. Sebagian kaget dengan sikap mahasiswa tersebut yang menurutnya cukup berani meminta perubahan nilai.

Disisi lain, dalam hal pergerakan mahasiswa generasi 80an dan sekarang (X dan Y) menyampaikan aksi jauh berbeda. Pada zamannya, pergerakan mahasiswa cukup “angker” ketika mereka sudah turun ke jalan. Berbeda dengan mahasiswa sekarang yang polanya “jauh lebih asik dan menyenangkan”. Mereka menggunakan caranya sendiri tetapi tidak meninggalkan substansi yang diperjuangkan, seperti membuat pesan-pesan tidak jauh dari kehidupan sehari-hari. Misalnya “hari ini tidak ada kuliah di kampus, kita kuliah di Gedung DPR”, dan lain sebagainya.

Pergerakan mereka juga terbilang sederhana, cukup menggunakan kendaraan sendiri-sendiri, membawa bekal dan kumpul bersama-sama.

Penggunaan teknologi juga menjadi kunci dari cepatnya proses persiapan aksi protes yang dilakukan. Mereka sangat mahir menggunakan media sosial, mulai dari koordinasi, penyebaran informasi, bahkan penggalangan dana untuk kegiatan. Gerakan masa kini bisa dengan mudah menjadi inklusif, merangkul sebanyak mungkin pihak.

Gerakan ini jauh berbeda dengan Gerakan-gerakan tahun 98-99 yang cendrung ekstrim kalau melakukan aksi hingga keterbatasan alat komunikasi untuk berkoordinasi.

Upaya Dilakukan 

Pengetahuan agama generasi kini cukup relevan dengan penyataan Wakil Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) tahun 2022 tentang 65 persen warga muslim di Indonesia tidak bisa membaca al Quran, (Antara/22/1/2022). Hal ini menjadi pertanyaan kita mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Artinya bisa saja di tahun-tahun mendatang orang-orang akan lupa bahkan acuh terhadap ilmu agama.

Dalam konteks perkembangan zaman seperti sekarang, perubahan sepertinya memang tidak bisa dianggap remeh, termasuk dalam memberikan pendidikan agama. Artinya pemangku kepentingan serta pendidik seperti guru sampai orang tua mulai berpikir untuk merubah gaya mentransferkan ilmu dan pengetahuannya, tujuannya untuk generasi lebih baik.

Pendidikan agama Islam adalah suatu proses penyampaian informasi yang kemudian diserap oleh masing-masing individu, sehingga menjiwai cara berpikir, bersikap dan bertindak, baik untuk dirinya sendiri maupun hubungannya dengan pencipta dan hubungannya dengan manusia lain atau masyarakat serta alam semesta dalam kedudukannya sebagai hamba Allah khalifah di bumi.

Secara tidak langsung pendidikan ini terus berkembang, sebagaimana dilambangkan oleh lembaganya, seperti pesantren muncul madrasah, kemudian muncul sekolah bernuasa Islam bahkan pelajaran agama Islam wajib diajarkan di perguruan tinggi. Usaha pendidikan yang sudah berjalan sekian abad pasti membutuhkan peninjauan kembali untuk mengadakan penyesuaian sejalan dengan perkembangan budaya bangsa.

Peninjauan disini adalah memperbahrui rumusan tujuan strategis dari pendidikan agama Islam. Pendidikan tidak hanya mengajarkan atau mentransferkan ilmu, budaya dan agama, akan tetapi seyogyanya memberi perlengkapan pada peserta didik untuk mampu memecahkan persoalan-persoalan yang sudah nampak sekarang maupun yang baru akan nampak dimasa mendatang, memecahkan persoalan yang dipandang sebagai kewajiban olehnya, baik sebagai profesional yang terkait kode etik profesinya atau karena adanya komitmen batin antara dirinya dengan Allah penciptanya maupun sebagai kewajiban kemanusiaan yang secara sadar dan ikhlas memandang usaha tersebut langkah berguna bagi lingkungannya. Dengan kata lain, Pendidikan agama harus berorientasi kemasa yang akan datang. Seperti sabda Rasulullah SAW “didiklah anak-anak kalian karena mereka diciptakan untuk zamannya sendiri”.

Persoalan-persoalan yang harus dipecahkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat dan warga negara mungkin tidak hanya akan dihadapi satu atau dua kali, tetapi seringkali selama hidupnya. Disinilah letak pentingnya ruang lingkup materi pendidikan tidak hanya merupakan perbendaharaan ilmu pengetahuan yang dihapalkan atau sebagai latihan keterampilan yang spesifik, akan tetapi yang lebih penting bahwa ilmu pengetahuan tersebut disampaikan sedemikian rupa yang diproses dalam otak, sehingga memungkinkan terbentuknya suatu sikap apresiatif dan suatu konsep atau ide tentang masalah dan pemecahannya sebagai output. (*)

Penulis : Muhamad Nurdin, M.S.I